Selasa, September 01, 2009

BANJARJULU

Ulu Ni Huta (Banjarjulu) terletak di desa Batumanumpak, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara.


Photobucket

Photobucket

Toga Gultom dan Penyebarannya

Seperti kita ketahui, Toga Gultom adalah keturunan no. 1 dari Si Raja Sonang. Keturunan yang lain adalah Toga Samosir, Toga Pakpahan, dan Toga Sitinjak. Pada jaman dahulu kala manusia di bumi ini masih sedikit. Si Raja Sonang membagi-bagi daerah kekuasaannya kepada keempat anaknya. Toga Gultom mendapat bagian di suatu tempat di P. Samosir yang bernama Tujuan Laut. Tempat ini adalah daerah pertama yang diduduki oleh Toga Gultom.
Toga Gultom memiliki empat orang anak yaitu Huta Toruan (Tujuan Laut), Huta Pea, Huta Bagot, dan Huta Balian. Seluruh keturunan Toga Gultom hidup di Tujuan laut tersebut dan setelah mereka menjadi banyak, mereka membuka lahan disekitarnya, diantaranya Sitamiang yang diberikan kepada Huta Toruan.
Pada suatu saat salah seorang keturunan Huta Pea, yaitu Si Palang Namora menyebrang lautan menuju ke daerah Sibisa dan menetap disana. Daerah Sibisa adalah daerah yang diduduki oleh marga Sirait. Didaerah ini Si Palang Namora menikah dengan boru Sirait dan memiliki beberapa orang anak, yaitu Tumonggopulo, Namoralontung, Namorasende, dan Raja Urung Pardosi. Keadaan ekonomi keluarga Si Palang Namora ini berkembang dengan baik dan menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian anak lelaki dari keluarga Sirait. Hal ini menimbulkan ketakutan pada keluarga Sirait, sehingga mereka berusaha agar Si Palang Namora meninggalkan kampung mereka. Pada akhirnya Si Palang Namora meninggalkan daerah Sibisa dan kembali ke P. Samosir. Akan tetapi salah seorang anak tidak ikut bersama mereka, yaitu Raja Urung Pardosi. Pada saat itu Raja Urung Pardosi sedang menimba ilmu hadatuon di daerah Hatinggian.
Si Palang Namora bersama keluarganya menetap di P. Samosir. Ketiga anak yang ikut bersamanya pada akhirnya menyebar ke beberapa daerah di sekitar Tujuan Laut, yaitu Sitamiang, Huta Hotang, Janji Matogu, Siriaon, dan Gonting. Anak No. 1 dan 2, yaitu Tumonggopulo dan Namoralontung menyebar ke Gonting. Sedangkan anak no. 3 (Namorasende) menduduki daerah Huta Hotang. Selanjutnya penyebaran keturunan Gultom Huta Pea adalah ke daerah Janji Matogu dan Siriaon. Penyebaran ke daerah ini dimulai dari keturunan Ompu Saruambosi (Raja Na Iringgit), yaitu keturunan Gultom Huta Pea generasi ke 10 (dapat dilihat pada bagian Family Tree/Tarombo) dari anak ketiga si Palang Namora. Ceritanya, Raja Na Iringgit memiliki empat orang permaisuri, yaitu:
1. Br. Parhusip
2. Br. Samosir
3. Br. Parhusip
4. Br. Manurung
Permaisuri yang pertama, yaitu Br. Parhusip tidak memiliki anak lelaki. Permasuri yang kedua, yaitu Br. Samosir, menurunkan tiga orang anak lelaki, yang kemudian bermukim di Siriaon. Sedangkan permaisuri yang ketiga, yaitu Br. Parhusip menurunkan lima orang anak lelaki, yang kemudian bermukim di Janji Matogu. Permaisuri yang keempat, yaitu Br. Manurung, menurunkan empat orang anak Lelaki, yang kemudian bermukim di Sitamiang. Masing-masing anak menjadi cikal bakal penyebaran Gultom ke daerah tersebut.

(Disusun oleh Veronika Gultom,Nara Sumber: M.X Gultom, Sahrun Gultom, Founder Gultom Foundation)

Penyebaran Gultom Hutapea ke Pangaribuan

Penyebaran Keturunan Gultom Huta Pea ke Pangaribuan
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa Raja Urung Pardosi tidak ikut pulang ke P. Samosir bersama keluarganya, karena saat itu ia sedang menimba ilmu hadatuon di daerah Hatinggian.
Seperti layaknya seorang anak yang baru saja menyelesaikan sekolah, Raja Urung Pardosi hendak pulang ke rumah orang tuanya di Sibisa. Akan tetapi ia mendapati rumah orang tuanya kosong. Akhirnya bersama dua orang teman seperguruannya, yaitu Harianja dan Pakpahan, mereka berjalan terus. Dalam perjalanan itulah mereka menemukan burung Tekukur. Mereka berusaha menangkap burung itu dengan cara menyumpitnya, agar burung itu jatuh. Tetapi burung itu sulit sekali ditangkap sehingga tanpa disadari mereka terus mengikuti burung itu sampai hari gelap. Akhirnya mereka sampai di suatu daerah yang bernama Pangaribuan. Disana mereka ditampung oleh sebuah keluarga bermarga Pasaribu. Sebagai tuan rumah yang baik, Pasaribu berusaha melayani tamunya dengan baik. Pasaribu meminta sang istri untuk menyediakan makanan bagi para tamu. Akan tetapi si istri menginformasikan bahwa tidak ada lauk-pauk yang dapat disajikan. Pasaribu menjawab,"Huting ima seat". Akhirnya si istri menyembelih huting (kucing), dan mengolahnya menjadi makanan siap saji yang berupa tanggo-tanggo, sementara tamu-tamu mereka beristirahat. Setelah makanan siap disajikan, Pasaribu membangunkan tamu-tamunya, dan mempersilahkan mereka makan. Raja Urung Pardosi bertanya kepada teman-temannya, "Apa lauknya?". Yang dijawab oleh teman-temannya, "Tanya saja!". Karena mereka telah menimba ilmu hadatuon, mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang bagi orang lain mustahil. Akhirnya Raja Urung Pardosi bertanya kepada tanggo-tanggo di meja makan,"Jika engkau ayam, berkokoklah!", namun tidak terjadi sesuatu. Raja Urung Pardosi bertanya kembali, "Jika engkau kambing, mengembiklah", namun tetap tidak terjadi sesuatu. Raja Urung Pardosi dan teman-temannya terus menyebutkan nama-nama hewan, namun tanggo-tanggo itu tetap tidak bersuara, sampai akhirnya salah seorang menyebutkan,"Jika engkau kucing, mengeonglah", akhirnya berloncatanlah kucing dari dalam piring tanggo-tanggo itu. Pasaribu yang melihat kejadian itu menjadi kaget, dan lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ketiga tamunya bukan manusia biasa. Seluruh kampung menjadi geger, dan akhirnya melarikan diri keluar dari daerah itu. Adapun ketiga orang itu, Raja Urung Pardosi, Harianja, dan Pakpahan, akhirnya menetap di daerah itu. Raja Urung Pardosi, yang digelari Datuk Tambun, ini menjadi keturunan Gultom pertama yang menetap di Pangaribuan.Ia memiliki empat orang anak, yaitu:
1. Namora so Suharon yang tinggal di desa Parlombuan
2. Baginda Raja, tinggal di desa Parsibarungan
3. Saribu Raja, tinggal di desa Batumanumpak
4. Pati Sabungan, tinggal di desa Batunadua
Selanjutnya penyebaran meluas ke daerah Sipirok, yang dimulai dari keturunan Saribu Raja. Saribu Raja memiliki dua orang anak yaitu, Namora Soaloon yang tetap tinggal di desa Batumanumpak (Makamnya terletak di Dolok Marsahit), , dan Babiat Galemun, yang kemudian tinggal di desa Simangambat, Sipirok.

(Disusun oleh Veronika Gultom, Nara Sumber: M.X Gultom, Sahrun Gultom, Founder Gultom Foundation)

Selasa, Agustus 25, 2009

PANGARIBUAN

Pangaribuan adalah sebuah kecamatan yang terletak di selatan Tapanuli Utara, Sumatra Utara.

  • Letak astronomis : Lintang Utara : 010 45’ – 020 06 ‘ Bujur Timur : 990 02’ – 990 02’
  • Letak di atas Permukaan Laut : : 500 s/d 1500 m
  • Luas Wilayah Kecamatan Pangaribuan : 459,25Km2
  • Berbatasan Dengan :
Sebelah Utara : Kecamatan Sipahutar
Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Selatan
Sebelah Barat : Kecamatan Pahae Julu dan Kecamatan Pahae Jae
Sebelah Timur : Kecamatan Garoga
  • Iklim : Sedang
  • Curah Hujan : 2.760 mm/th
  • Kemiringan Tempat
Dataran rendah : 0-2 % : 0 Ha
Landai : 3-15 % : 18.375 Ha
Miring : 16-40 % : 5.125 Ha
Terjal : 40 % Keatas : 22.425 Ha

(Sumber : KSK Kecamatan Pangaribuan)

DATA-DATA STATISTIK SEPUTAR KECAMATAN PANGARIBUAN







[sumber: KECAMATAN PANGARIBUAN DALAM ANGKA 2006, penerbit:Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara]